Koalisi Break Free Indonesia: Stop Coal-Ruption! 23 Maret 2017
Dukung KPK untuk Tuntaskan Kasus-Kasus Korupsi Batubara dari Hulu ke Hilir.
Sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan sektor strategis yang sarat dengan potensi korupsi. Oleh karena itu KPK meluncurkan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) pada tahun 2015 untuk mendukung perbaikan tata kelola di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan kelautan dari segi prosedur dan proses perijinan, pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, penjualan dan ekspor hasil produksi/penebangan, hingga kepatuhan pembayaran pajak/penerimaan negara.
Nota Kesepahaman GNPSDA ditandatangani oleh 20 kementerian dan tujuh lembaga negara pada tahun 2015 dan telah mendasari terbentuknya berbagai Koordinasi dan Supervisi (Korsup). Di sisi penindakan, proses penyelidikan terus mengungkap praktek-praktek korupsi di berbagai sektor sumber daya alam yang telah menyebabkan dampak meluas bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat serta lingkungan hidup.
Batubara dari Hulu ke Hilir: Energi Kotor yang betul-betul “Kotor”
Batubara dianggap salah satu komoditas ekspor dan energi nasional yang dianggap strategis sebagai sumber pemasukan negara dan penyedia lapangan tenaga kerja. Namun terdapat banyak praktek korupsi sepanjang rantai nilai batubara, dari hulu sampai hilir. Dalam penambangan banyak kasus korupsi yang sudah terungkap seputar perijinan dan kelalaian dalam menegakkan aturan seputar operasional pertambangan dan pasca tambang. Sebagai komoditas ekspor, banyak ditemukan indikasi kecurangan dari segi pelaporan yang menyebabkan hilangnya pemasukan negara dari segi royalti dan pajak.
Sedangkan, dalam pemanfaatannya sebagai sumber tenaga listrik, terjadi banyak praktek pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat dan negara dari sisi perolehan perijinan, penguasaan lahan serta pengelolaan dampak sosial dan lingkungan hidup dari PLTU Batubara. Batubara sebagai komoditas pertambangan dan sumber energi listrik juga memberikan dampak negatif yang berkepanjangan terhadap perekonomian dan sosial setempat serta lingkungan hidup yang memiliki implikasi global, yakni perubahan iklim.
Definisi Korupsi yang luas dalam konteks pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam penjelasan UU 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi mencakup hal-hal yang menyebabkan bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan negara. Korupsi juga didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak ekonomi masyarakat.
Di sektor pengelolaan SDA, definisi korupsi diperluas mencakup apapun yang menyebabkan pemborosan dan dampak negatif dari pengelolaan SDA yang melampaui definisi kerugian negara. Demikian dipaparkan Dian Patria, Ketua Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-SDA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam berbagai kesempatan[1].
Di Hulu: Korupsi Perijinan dan regulasi tumpang tindih
Mulai dari saat ditambang, batubara memberikan ruang lebar bagi korupsi. Hal ini sudah diakui oleh KPK. Sejak tahun 2014, melalui Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Mineral dan Batubara (Minerba), KPK melakukan koordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral untuk meninjau perijinan IUP Minerba (termasuk Batubara) di 12 Propinsi. Untuk batubara sendiri, sebanyak 3.226 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara (dari 9.321 IUP di Minerba) yang sudah ditinjau oleh Korsup berdasarkan persyaratan untuk memperoleh sertifikat Clean and Clear (CnC). Tanpa sertifikat CNC, IUP harus dicabut oleh pihak yang mengeluarkan ijin tersebut (berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015).
Dari hasil akhir tinjauan tersebut terungkap, terdapat 652 IUP yang sudah berakhir masa ijinnya dan 264 IUP yang sedang beroperasi yang sesungguhnya tidak memenuhi CnC[2]. Terdapat berbagai kemungkinan mengapa perusahaan batubara gagal memenuhi syarat CnC, namun terdapat indikasi kuat adanya praktek korupsi. Tenggat waktu bagi penindakan dan pencabutan oleh pemerintah daerah sudah lewat, kendati sudah berkali-kali diundur tetapi masih banyak IUP yang belum ditindak atau ditertibkan. Kenyataan ini membuka peluang tindakan korupsi di sisi perijinan dan maladministrasi.
Penunggakan pendapatan berlarut-larut menyebabkan kerugian negara
Selain itu, Korsup Minerba juga mengawal perbaikan tata kelola Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan tambahanPNBP dari sektor pertambanganminerba sebesar Rp 23 triliun pada tahun 2016. Dengan adanya tambahan tersebut, PNBP sektor pertambangan minerba tahun 2016 ditargetkan mencapai Rp 64,59 triliun, naik 56% dari target APBN 2016 sebesar Rp 41,59 triliun[3]. Sementara sampai dengan akhir tahun 2016, setoran hanya mencapai 25.1 triliun, akibat tumpang tindihnya regulasi dan lemahnya penindakan[4].
Minimnya pengawasan atas volume produksi dan tipe kalori batubara menambah sulitnya pendataan akurat pendapatan yang seharusnya masuk ke kas negara. Hal Ini membuka ruang untuk terjadinya penggelapan berbagai pemasukan yang seharusnya dapat diperoleh dari batubara, baik berupa pajak maupun non pajak[5].
Sektor kelistrikan sarat dengan praktek korupsi
Di awal tahun 2017, berita adanya 34 PLTU Batubara mangkrak dari era kepemimpinan SBY dari program Fast Track 1 (10.000 MW) dan Fast Track 2 (10.000 MW) hanya merupakan sebagian kecil dari permasalahan Batubara sebagai sumber energi kelistrikan. Pada semua proyek yang mangkrak ini terdapat banyak indikasi terjadinya kasus korupsi, yang kini sedang berada dalam pengusutan di KPK[6]. Mangkraknya ke-34 proyek tersebut merupakan manifestasi dari praktek korupsi yang terdapat di seluruh titik rantai pengembangan PLTU Batubara.
Dengan demikian, proyek kelistrikan di era pemerintahan sekarang, yaitu proyek 35.000 Megawatt harus berada di bawah pengawasan ketat dari KPK dan seluruh badan penegakan hukum guna mencegah terjadi korupsi yang dapat menyebabkan dampak luas dan permanen bagi kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Pengembangan PLTU Batubara sarat korupsi dari mulai dilakukannya pengadaan lahan. Kasus yang baru-baru ini dilaporkan termasuk dugaan korupsi atas 226 hektar lahan yang direbut dari warga untuk pembangunan PLTU Batubara di Batang, Jawa Tengah[7]. Warga bergerak melaporkan indikasi kuat terjadinya tindak pidana korupsi dalam pembayaran kompensasi atas lahan, dimana lahan dihargai jauh di bawah harga pasaran berdasarkan kurs yang salah. Nilai korupsi diindikasikan mencapai hingga mencapai milyaran rupiah.
Tahapan perolehan perijinan juga sering menjadi ajang terjadinya penyelewengan peraturan dan persyaratan. Hal ini akan berbalik di kemudian hari, dan menyisakan dampak sosial dan lingkungan yang berkepanjangan. Ekspansi PLTU yang saat ini berlangsung di banyak tempat di Jawa, khususnya di Jawa Barat, yakni Cirebon dan Indramayu, menjadi contoh nyata bahwa telah terjadi praktek-praktek kotor yang terwujudkan dalam bentuk dampak lingkungan yang meluas.
Saat ini warga Cirebon sedang melakukan aksi ke negara pendana utama proyek ekspansi PLTU Cirebon 2, dengan memaparkan kerugian sosial dan lingkungan yang sudah disebabkan oleh proyek PLTU Cirebon 1[8]. Jepang mengucurkan dukungannya untuk proyek energi kotor melalui JBIC, JICA dan banyak bank-bank swasta mereka yang terlibat. Di saat yang bersamaan di minggu ini masyarakat Indramayu sedang melakukan audiensi ke Jepang untuk menegaskan penolakan mereka terhadap ekspansi PLTU batubara.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Sepanjang siklus pemanfaatannya batubara menimbulkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki pada bumi dan manusia di dalamnya. Siklus hidup batubara mulai dari bawah tanah hingga ke limbah beracun yang dihasilkannya, biasanya disebut sebagai rantai kepemilikan. Rantai kepemilikan ini memiliki tiga rantai utama—penambangan, pembakaran, sampai ke pembuangan limbahnya. Setiap bagian dari rantai ini, menimbulkan daya rusak yang harus ditanggung bumi dan manusia didalamnya.
Pembakaran batubara meninggalkan jejak kerusakan yang tak kalah dasyat. Air dalam jumlah yang besar dalam pengoperasian PLTU mengakibatkan kelangkaan air di banyak tempat. Polutan beracun yang keluar dari cerobong asap PLTU mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Partikel halus debu batubara adalah penyebab utama penyakit pernapasan akut, merkuri perusak perkembangan saraf anak-anak balita dan janin dalam kandungan ibu hamil yang tinggal di sekitar PLTU. Dan yang tak kalah penting, pembakaran batubara di PLTU adalah sumber utama gas rumah kaca penyebab perubahan iklim seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan metana yang memperburuk kondisi iklim kita.
Selain itu batubara menyebabkan dampak kesehatan yang akan bertambah besar skalanya seiring dengan ekspansi pembangunan PLTU Batubara di Indonesia. Pada tahun 2015, Greenpeace Indonesia dan tim peneliti dari Harvard University, Atmoshpheric Chemistry Modelling Group (ACMG) mencatat ada 6.500 jiwa meninggal dunia akibat terkena polusi udara dari operasi PLTU batu bara yang ada di Indonesia. Dampak kesehatan paling berat, disebabkan partikel mikroskopik (PM2,5) yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Kematian disebabkan oleh penyakit stroke, jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru dan penyakit kardiovaskular serta penyakit pernapasan lainnya[9].
Terlepas dari berbagai kerugian yang ditimbulkan PLTU Batubara, Indonesia terus mengandalkan pasokan listriknya dari batubara, dengan mengatakan bahwa batubara merupakan sumber energi listrik yang paling “murah”. Dalam rentang 10 tahun ke depan, apabila rencana umum kelistrikan dijalankan sesuai rencana, maka Indonesia akan menambah kapasitas tenaga listrik dari sumber batubara sebanyak 38.450 Megawatt (diantara 25.440 Megawatt masih berada dalam tahan pengumuman namun terkandung dalam rencana umum ketenagalistrikan)[10].
Batubara merupakan energi kotor yang betul-betul kotor dari hulu sampai dengan hilir. Kepentingan dari pihak-pihak terbatas di antara pelaku bisnis dan politik menjadikan sektor ini rentan terhadap praktek korupsi. Indonesia harus segera mengakhiri ketergantungannya pada batubara, dimulai dari membersikan sektor ini dari praktek korupsi.
[1] http://kpk.go.id/id/halaman-utama/79-berita/berita-media?start=1585
[2] Hasil evaluasi IUP oleh Korsup Minerba, 2017
[3] https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/3252-pnbp-minerba-bertambah-rp-23-t
[4] http://nasional.kontan.co.id/news/setoran-pnbp-minerba-baru-tercapai-rp-25-t
[5] http://katadata.co.id/berita/2017/02/21/kurang-data-target-pnbp-sumber-daya-alam-turun-rp-35-triliun
[6] http://ekonomi.metrotvnews.com/energi/JKRRqw3K-jurus-jokowi-bangun-kembali-34-pembangkit-listrik-yang-mangkrak
[7] http://news.liputan6.com/read/2842988/ratusan-warga-akan-lapor-dugaan-korupsi-pltu-batang-ke-kpk
[8] http://www.mongabay.co.id/2017/03/18/proyek-pltu-unit-ii-cirebon-terus-berjalan-ditengah-penolakan-masyarakat/
[9] Laporan Studi Harvard dengan Greenpeace “Kita, Batubara dan Polusi Udara” dapat diakses di: http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/reports/Hasil-Penelitian-Harvard-Ancaman-Maut-PLTU-Batubara-Indonesia/
[10] Boom and Bust 2017: Memantau Perkembangan PLTU Batubara secara Global http://endcoal.org/global-coal-plant-tracker/reports/boom-bust-2017/
Nambah bagian ini agar bisa berikan penekanan peluang korupsi di hulu.
Suggest: diambil paksa (?)